JurnalTepungTerigu

Sebuah Lagu Bermuara Rindu

Post a Comment
Sebuah Lagu Bermuara Rindu


*Ran Azlaff 

[Pernahkah kau terdiam terlalu lama, lalu berucap hanya sepatah kata?... Ah! rindu, dia selalu inginkan waktu cepat berlalu untuk bertemu.]

 “Tentang orang yang istimewa?” Ah, lagi-lagi aku gusar dengan pertanyaan itu. Jujur saja, belum ada orang istimewa yang menempati ruang khusus di hatiku selain keluarga dan para sahabat. Lebih tepatnya, aku belum menemukan cinta yang sesungguhnya. Semua lelaki yang dekat denganku berasa sama. Hanya sebatas teman.

***

Hingga akhirnya kutemukan lelaki bermata coklat itu….
Padahal iya biasa-biasa saja, tidak terlalu tampan, bukan pula konglomerat. Namun entah mengapa aku dengan mudah menerima permintaaannya untuk menjadi kekasih hatiku. Tapi bukan berarti sangat tidak mungkin untuk dijelaskan. Di suatu malam yang tidak begitu dingin, saat hanya ada beberapa denyar bintang yang bisa kami nikmati keindahannya, kami diselimuti suasana bungkam yang teramat lama di taman tempat kami bertemu.
“Kenapa kamu diam saja dari tadi?” Suara baritonnya memecah kefakuman yang terlanjur tercipta.
“ Ingin saja,” Jawabku . Dan memang itulah satu-satunya jawaban yang ada dalam pikiran yang bisa kulontarkan. 
“Kalau cuma ingin berdiam-diam begini, untuk apa kamu memaksa bertemu?” Gelengan heran Adan dan matanya yang tampak lesu membuatku merasa bersalah. Seharusnya malam ini dia istirahat. Mengembalikan stamina untuk kembali menjalani rutinitas sebagai sopir taxi esok hari.
“Tapi…” Meski merasa bersalah, ada kecamuk dalam dada. Ada kesal yang makin hari kian melangit. Tidakkah dia merasa bahwa aku merindukannya? Akh, masa aku harus bilang bahwa aku rindu agar dia mau meluangkan waktu untuk sekedar bertemu?
 “Kalau kamu ingin curhat, telfon saja aku.” Dia beranjak dari duduknya.
 “Ayo kita pulang saja!” Aku mendengus kesal.
Adaaan, tolong pahami aku. Jangan membuatku semakin bingung.

***

Hari ini ada jadwal kuliah gak? Satu pesan mendarat. Dari Adan. Sikap Adan malam itu diam-diam membutku kesal. Kuacuhakan smsnya.
Kamu baik-baik saja, kan? Satu sms dari orang yang sama kembali menderingkan handpone-ku. Aku memang berniat untuk membiarkan smsnya tanpa balasan. Tapi, lagi-lagi, uggghh! Selalu saja ada dorongan kuat untuk tidak mengacuhkannya dari sisi hatiku yang lain. Tidak, tidak, saat ini kamu sedang kesal sama Adan. Sekali-kali acuhkan dia! Batinku mulai ribut. Kuurungkan untuk menekan tombol replay. Satu menit berlalu, kubaca lagi pesan singkatnya. Benar-benar menyiksa. Meski sering membuatku marah, tapi merindukannya seperti sudah menjadi penyakit baruku yang akut. Tapi sampai kapan? Ini bukanlah dunia dongeng yang bisa dengan mudah meminta bantuan peri untuk mewujudkan keinginan secara instan.
Aku baik-baik saja. Pesan terkirim. Ternyata rasa kesalku pada seorang Adan cepat sekali kadaluarsa. Benci sebenarnya dengan kondisi ini. Tuhan, jamahlah hatiku.

***

There’s a song that’s inside of my soul.
It’s the one that I’ve tried to write over and over again
I’m awake in the infinite cold.
But you sing to me over and over and over again.
So, I lay my head back down.
And I lift my hands and pray
To be only yours, I pray, to be only yours I know now
 you’re my only hope.

Suara lembut Mandy Moore dalam membawakan lagunya, Only Hope semakin meluluhkan hatiku. Adan memutar lagu itu saat dia menyatakan perasaannya padaku dalam taxi yang biasa menemani hari-harinya. Sungguh keterlaluan! Aku tidak bisa menolaknya tanpa antisipasi. Anehnya lagi, aku bisa menghafal lagu itu dengan cepat. Kali ini, dengan posisi yang sama, kami tidak hanya mendengarkannya. Tapi tanpa terbata-bata aku dan Adan menyanyikannya bersama-sama. Satu-satunya lagu berbahasa Inggris yang berhasil kuhafal dengan mudah. Senyum merekah lahir dari bibir kami. Sesekali ada tawa yang membahana. Kendatipun moment seperti ini jarang kulalui bersama Adan, namun hati tetaplah enggan untuk berbohong. Dialah orang istimewa yang menjadi jawaban dari pertanyaan yang diajukannya tempo hari. Saat hatiku belum menjatuhkan pilihan padanya. Dulu, Senin adalah hari yang kusuka. Tapi tidak untuk saat ini. Hari di mana aku sering merindukannya, itulah hari yang paling aku suka. Karena merindukannya adalah rutinitas perasaan yang paling berharga meski itu sangatlah menyiksa. Adan, lelaki bermata coklatku, apa kamu juga merasakan hal yang sama?

So, I lay my head back down.
And I lift my hands and pray
To be only yours, I pray, to be only yours I pray,
to be only yours I know now you’re my only hope.


*Fiksimini  hasil kolaborasi dengan Buruh Tinta
 dalam buku antologi Valentinsiana

Related Posts

Post a Comment