JurnalTepungTerigu

Perayaan Babi Berbuah

Post a Comment

 


Perempuan tidak hanya dinomorduakan, perempuan juga tidak berhak tahu banyak hal, pun mencintai dirinya sendiri. Begitu lah Desa Ketan memperlakukan kami.

Aku sendiri tidak begitu paham apa yang melatarbelakangi sebutan desa kami. Hanya anak laki-laki lah yang mendapatkan penjelasan secara detail asal muasal namanya. Yang jelas kutahu, masyarakat di sini selalu menghidangkan menu ketan pada setiap perayaan atau acara keluarga. Menu-menu ketan tersebut diolah dengan varian yang berbeda-beda. Ketan kacang di selametan sunatan, ketan cokelat pada ritual empat bulan kehamilan. Begitu pula ketika perayaan pernikahan, kami membuat menu ketan dengan topping buah-buahan seperti duren, mangga, pisang, atau stroberi.

Di desa kami, panorama pada sore hari menyuguhkan keindahan alam yang hampir sempurna indahnya. Selain menghasilkan ketan yang melimpah, desa ini juga memiliki kekayaan udara yang sejuk dan pancaran cahaya yang hangat. Itulah mengapa aku dan ketiga rekanku memilih waktu sore untuk saling bertemu.

Selain karena urusan rumah dan pelajaran wajib telah usai, sore hari di sini sangat cocok untuk dilalui dengan belajar. Diam-diam kami keluar rumah untuk belajar hal baru di luar pelajaran memasak, berdandan, dan pelajaran mengurus rumah atau bab tentang membina rumah tangga. Itu adalah perihal wajib belajar kami sejak usia dini, sebuah konsekuensi terlahir sebagai anak perempuan. Di luar pelajaran-pelajaran itu, kami tidak diperbolehkan mempelajarinya. Bahkan kesempatan bisa membaca hanya didapatkan anak laki-laki. Keluarga perempuan ketua adat pun dilarang karena sebuah alasan.

“Ayah, mengapa anak perempuan tidak diperbolehkan belajar di luar pelajaran wajib desa ini?” tanyaku pada Ayah suatu hari.

“Perempuan tidak membutuhkan selain perihal itu, Nak!” Aku kecewa dengan jawabannya dan ingin kubantah namun belum ada cukup keberanian yang kupunya. Ayahku adalah ketua adat di desa kami setelah wafatnya kakek yang sudah dua puluh tahun dihormati sebagai ketua adat sebelumnya. Ayah adalah sosok yang punya watak keras dan tegas. Belum sekali pun aku membantah perintahnya. Begitupun dengan warga Desa Ketan yang amat menjunjungnya.

“Ayah, aku ingin sekolah!” ujarku kemudian.

“Tidak boleh!”

“Ayah! Mengapa aku tidak boleh, tapi abang-abangku boleh?”

Ayah tidak menggubrisku seperti biasanya. Setiap awal tahun, aku selalu menanyakan dan meminta hal yang sama. Dan ayah tetap saja konsisten dengan jawabannya hingga usiaku 12 tahun.

***

Pada kegiatanku yang belajar secara diam-diam, hanya ada tiga perempuan di desa ini yang mau melakukannya bersamaku. Perempuan-perempuan lain lebih memilih aman dan mencukupkan diri dengan apa yang telah didapatkannya selama ini. Setiap dua hari sekali kami bertemu untuk mengajari tiga rekanku membaca.

Semenjak berusia dua belas tahun, aku mulai belajar membaca dan mencari tahu pengetahuan lain di luar pelajaran wajib dari orang tua. Aku memaksa Nesi, salah satu abangku untuk mengajariku membaca. Awalnya dia menolak, tapi lama-lama dia tidak tahan menghadapi rengekanku yang berisik di telinganya setiap hari.

Tidak butuh waktu lama untuk menyerap pelajaran dari Bang Nesi. Dalam kurun waktu enam bulan aku sudah bisa membaca dengan lancar. Aku benar-benar bertekad untuk segera bisa mengetahui isi buku-buku di lemari rumah yang sering membuatku penasaran.

Pertemuanku dengan Ros, Melani, dan Zuma dilakukan di bawah pohon besar yang tidak jauh dari rumah namun jarang dilewati masyarakat desa. Jadi bisa dibilang aman untuk belajar secara sembunyi-sembunyi di sana. Kami menggali tanah di sekitar akar pohon itu untuk menyembunyikan buku-buku yang kami pelajari dalam sebuah kotak rahasia.

Pohon yang kumaksud sebagai tempat belajar kami adalah satu pohon yang amat besar di desa ini. Pohon yang belum punya nama. Masyarakat pun bingung untuk memberinya nama karena selama pohon itu tumbuh di tujuh ratus meter dari rumahku, ia belum pernah sekalipun berbuah. Bukan hanya sebab itu, bentuknya juga berbeda dari pohon-pohon lainnya.

Kalau dihitung-hitung, pohon tersebut sudah berumur enam puluh empat tahun. Seumuran dengan ayahku. Pohon tak bernama ini mulai ditemukan sejak ayah berusia satu tahun. Waktu itu ayah sedang jalan-jalan bersama kakek ke kebun dan melihat sesuatu yang janggal dari sekian tanamannya itu. Ia menemukan satu tumbuhan langka. Bentuk batangnya seperti pohon nangka, namun daunnya memiliki bentuk mirip daun talas. Kakek juga melihat pohon tersebut berbunga dengan bentuk seperti melati, namun aroma yang dihasilkannya tidak jauh berbeda dengan wanginya bunga kamboja. Sejak saat itu, ia merawatnya dan membiarkan pohon tersebut terus tumbuh dengan keanehannya tersebut di kebunnya.

***

Waktu terus berlalu dan aku tetap rutin berkunjung ke pohon tak bernama itu. Begitu pun dengan Ros, Melani, dan Zuma. Kini mereka juga bisa membaca dan satu persatu buku ayah atau saudara laki-lakinya dibawa untuk bisa kami baca. Kami belajar tentang astronomi, biografi tokoh-tokoh terkenal, ilmu ekonomi, sesekali tentang filsafat, dan masih banyak lagi yang kami baca. Menyenangkan sekali mengetahui lebih banyak hal.

 “Enim, mengapa kita perlu belajar membaca? Pelajaran wajib saja sudah terasa cukup untuk membekali masa depan kita.” Ros masih belum yakin dengan ajakanku untuk belajar hal baru. Dia terus saja bertanya di awal-awal pertemuan kami.

“Apakah suamimu sering mendapat surat dari temannya?” Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya. Lantas aku menimpalinya pertanyaan lain. Si Ros yang sudah menikah sejak usia sepuluh tahun ini terheran-heran.

“Iya, setiap bulan datang surat baru dari sahabatnya di luar daerah untuk bertukar kabar.” Meskipun heran, tetap saja dia menjawab pertanyaanku.

“Dari sekian surat yang ditujukan untuk suamimu itu, bisa saja satu atau dua surat berisi tentang perempuan lain yang diperkenalkan sahabatnya. Sebuah rencana perselingkuhan dengan perempuan yang lebih cantik darimu. Kamu tidak akan tahu, karena kamu tidak bisa membacanya,” ujarku dengan intonasi meyakinkan.       Ros tiba-tiba diam dan tidak bertanya lagi setelah mendengar ucapanku barusan. Setelah percakapan ini, dia semakin giat belajar membaca dan mulai menemukan sendiri jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya.

Tidak lama setelah Ros bisa membaca, ia memutuskan untuk bercerai dengan suaminya. Diam-diam dia membaca surat dari sahabat suaminya itu, dan pengandaian yang kukatakan padanya benar-benar terjadi tanpa kuduga.

Setelah mengetahui perihal perceraian tersebut, Melani dan Zuma tiba-tiba berbisik di tengah-tengah diskusi kami.

“Beri aku alasan mengapa membaca itu penting. Beri alasan dengan pengandaian yang baik ya, Nim,” ucap Zuma pelan di telingaku.

“Padaku juga, Nim. Aku tidak mau seperti Ros. Ucapanmu ternyata sakti mandraguna,” bisik Melani kemudian di telingaku yang lain.

***

Dua tahun kami belajar secara diam-diam, dua tahun pula kami berpura-pura tidak mengetahui apapun selain yang diajarkan desa ini untuk kaum perempuan. Sebelum matahari tenggelam, kami sudah harus berada di rumah masing-masing agar tidak ketahuan.

Suatu hari, kami berempat asyik sekali membaca buku di pohon tak bernama. Dari saking asyiknya, kami tidak menyadari bahwa hari mulai gelap. Aku memaksakan diri terus membaca menggunakan senter karena sedikit lagi buku itu akan kutamatkan. Tanpa kami sangka, empat keluarga tersadar anak perempuan mereka tidak ada di rumah saat matahari tenggelam. Mereka menemukan kami setelah mencari ke seluruh sudut desa.

Ayah tampak sekali geram saat melihat aku tengah membaca. Ia berteriak keras sekali sembari menghampiriku. Menyeretku dari pohon tak bernama menuju rumah tanpa rasa kasihan sedikit pun. Aku sungguh terancam waktu itu. Rasanya aku akan mati saat itu juga. Ayah mengikat kami berempat di tiang depan rumah semalaman. Tak peduli hujan deras, angin badai, petir menyambar, kami tetap diikat hingga matahari membawa pagi lagi.

Kemarahan Ayah selaku ketua adat menggemparkan seantero desa. Tidak hanya aku dan tiga temanku yang belajar diam-diam yang merasakan takut, namun seluruh penduduk Desa Ketan turut merinding dengan kemarahan Ayah. Kini aku dilarang keluar rumah. Begitu pun dengan Ros, Melani, dan Zuma. Pohon tak bernama itu akan ditebang agar aku tidak memiliki tempat persembunyian lagi untuk melanggar perintahnya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana bosannya hidupku nanti ketika pohon itu benar-benar ditebang. Pasalnya, aku telah menemukan cara untuk mencintai diriku sendiri dan tidak lama lagi hal tersebut akan kandas.

Oya, ada satu hal yang belum kuceritakan. Empat bulan sebelum perbuatan belajar kami yang sembunyi-sembunyi ini ketahuan, selalu ada seekor babi di bawah pohon tak bernama ketika kami tiba di sana. Namun babi tersebut pergi setelah mengetahui kedatangan kami. Aku sendiri tidak tahu dari mana asal babi itu. Ia terlihat jinak dan sepertinya sudah tua. Biasanya sebelum pergi, ia berputar tiga kali mengelilingi pohon tak bernama sembari mengendus dan menggoyang-goyangkan pantatnya. Tidak lama setelah memutari pohon, kakinya mengeruk tanah dan membuat lubang kecil di sekitarnya. Rutinitas tersebut terus berlangsung hingga babi asing itu berhasil membuat sebuah lubang cukup dalam yang  dia keruk setiap kali kami datang. Aku dan teman-temanku membiarkan saja selama babi tersebut tidak mengganggu belajar kami.

Satu minggu sebelum ditebangnya pohon tak bernama, salah satu warga membawa informasi bahwa ada seekor babi mati di bawah pohon langka tersebut. Seorang warga itu melapor karena tidak biasanya ada babi di desa kami. Ia khawatir itu merupakan pertanda buruk. Ia mengabarkan bahwa babi yang mati itu terperosok ke dalam sebuah lubang cukup dalam.  Aku meyakini, ia mati bukan karena terperosok ke dalam lubang seperti yang dipikirkan orang kebanyakan. Namun babi itu sengaja menguburkan dirinya di jurang yang ia gali sendiri. Sebuah perkara hidup yang menakjubkan.

“Biarkan saja babi itu di sana. Timbun bangkainya dengan tanah,” perintah ayahku pada warga yang melapor. Dia kembali ke tempat pohon tak bernama berada untuk segera melaksanakan perintah.

“Babi berbuah! Babi berbuah! Babi berbuah! Babi berbuah!” Teriakan yang memekakkan telinga terdengar dari Pembawa kabar kematian babi setengah jam kemudian. Ia terus meneriakkan kalimat itu sembari berlari tunggang langgang ke arah rumah.

 “Babi berbuah! Babi berbuah! Babi berbuah! Babi berbuah!” Kali ini aku tidak salah lagi. Dia memang berteriak Babi berbuah. Hah, babi berbuah?

Warga lainnya berkerumun mendekatinya dan dia masih saja meneriakkan kalimat yang sama.

“Ada apa? Ada apa?” Tanya warga dalam kerumunan.

“Babi Berbuah!” Semua orang diam hendak mendengar secara jelas kalimat seorang warga yang berteriak tadi. “Maksud saya pohon tak bernama itu kini berbuah!” lanjutnya dengan girang. Semua orang masih terdiam. Menunjukkan ketidakpercayaan dan masih penasaran dengan kalimat ‘Babi Berbuah’. “Mari kita ke sana sekarang!” ucapnya lagi mencoba meyakinkan semua orang tentang omongannya yang terdengar konyol.

Tanpa berpikir lama lagi, Ayah beserta penduduk desa yang berkerumun bergegas menuju pohon tak bernama. Sepanjang perjalanan, suara desas-desus warga terus terdengar. Percaya tidak percaya, kami semua langsung terperangah dan heran seketika melihat pemandangan di depan kami. Suara desas-desus ataupun kasak-kusuk spontan hilang. Senyap tiba-tiba.

“Sebuah keajaiban!” Lontar Ayahku menerobos kesenyapan. Sontak semua warga bersorak riang dan berucap syukur. Kamu mungkin lebih memilih tidak percaya ketika mendengar cerita ini. Aku yang menyaksikannya secara langsung masih berpikir ini mimpi. Pohon tak bernama itu sungguh berbuah. Yang lebih menggembirakan lagi, buahnya serupa dengan beras ketan yang kami tanam sepanjang tahun. Pohon tak bernama yang berbatang seperti nangka, berdaun mirip talas, lalu berbunga dengan bentuk melati beraroma kamboja kini berbuah beras ketan begitu lebatnya melebihi panen akbar yang selalu kami tunggu.

Tiga hari kemudian, warga Desa Ketan mengadakan pesta besar. Sebuah perayaan sebagai tanda syukur kami kepada yang Maha Kuasa atas rezeki yang dilimpahkan begitu banyaknya. Pohon tak bernama itu kini semakin lengkap keajaibannya. Kami menghidangkan beraneka macam varian masakan ketan lebih dari perayaan-perayaan biasanya.

Terlebih lagi, setelah aku menceritakan perihal babi yang dipercaya sebagai salah satu perantara berbuahnya pohon langka kami, ada ritual baru yang lahir karenanya. Pada perayaan ini pula yang kemudian disebut dengan “Perayaan Babi Berbuah”, Ayah membatalkan penebangan pohon tak bernama dan memperbolehkan kami melakukan kegiatan belajar di sana. Khususnya para perempuan Desa Ketan.

Aku tak bisa berkata-kata apalagi setelah pengumuman yang amat menggembirakan itu. Aku pun tidak penasaran mengapa tiba-tiba Ayah berubah pikiran. Dalam hati aku tak hentinya bersyukur dan mengenang dengan sangat baik tentang babi yang kini sudah mengubur dirinya sendiri.

“Kamu tahu apa alasan perempuan di sini dilarang belajar membaca dan mempelajari hal lain di luar urusan rumah tangga?” Pertanyaan Abang Nesi mengagetkan aku yang tengah bereuforia.

“Ayah tidak pernah sekalipun menjawab pertanyaanku tentang itu,” aku menjawabnya sembari menggelengkan kepala berkali-kali.

“Karena kalau kalian bisa membaca apalagi lebih pandai dari para lelaki, kalian akan lebih sering membantah dan bisa-bisa lupa atau lalai pada tugas utama perempuan dalam tatanan desa ini. Seperti kejadian dua puluh tahun silam.”

“Ada apa, Bang di dua puluh tahun silam?”

“Kakek mengutuk saudara perempuan Ayah menjadi babi karena ia melalaikan tugas utamanya sebagai anak perempuan. Itu karena dia terlalu asyik membaca hingga lupa waktu dan tidak melaksanakan tugas keperempuanannya dengan benar.”

“Lalu apa yang terjadi padanya?”

“Ia pergi dari desa ini dan tidak ada yang tahu apakah kutukan itu benar-benar terjadi padanya atau tidak.” Aku mulai mereka-reka apa yang terjadi kemudian dengan bibiku itu. Berbagai kemungkinan muncul di benakku. Pertanyaan-pertanyaan susulan tiba-tiba menyeruak di kepala namun tidak sanggup kuutarakan.

“Mungkinkah babi itu….” Suaraku tercekat. Tidak sanggup kuteruskan.

“Aku tidak tahu. Aku tidak berani menyimpulkan, Nim.”

***


*cerpen ini juga diunggah di platform Storial

Miela Baisuni
Jatuh cinta pada buku sejak sekolah menengah, menulis adalah kecintaan mulai usia yang kalau ditanya jujur terus jawabannya. Sekarang milih voice over dan travelling sebagai pelengkap hobi sebelumnya. Nice to see you!
Newest Older

Related Posts

Post a Comment