MEDA
*Ran
Azlaff
Tidak perlu dengan hal
mewah untuk mengenang seseorang. Cukup sesuatu yang sederhana, kita akan lebih
menemukan maknanya. Termasuk cinta.
***
“Syifa,
aku menemukan sikat gigimu di ruang tamu.” Teriakan Nadil dengan suara
cemprengnya membuatku sadar dari keterlamunan. Aku memang berkali-kali dalam
seharian ini mencari sikat gigiku yang entah lah aku lupa meletakkannya.
Sebenarnya bisa saja aku beli yang baru, tapi sikat gigi itu memiliki makna dan
kenangan tersendiri dalam hidupku. Itulah sebabnya aku selalu koar-koar pada
orang seisi rumah saat ia tiba-tiba tidak ada pada tempatnya.
“Kok
bisa yaa ada di ruang tamu? Padahal seingatku tidak pernah memindahnya dari
tempat biasa,” sahutku heran.
“Mana
mungkin sikat gigimu itu pindah sendiri kalo bukan kamu yang bawa, Syif.” Saudara
kembarku itu mulai jengkel dengan pertanyaanku yang tak butuh jawaban. Aku pun
diam setelah itu sambil lalu mengambil sikat gigi di tangan Nadil.
“Lain
kali kubuang saja kalo kamu letakkan sembarangan,” lanjutnya. Ternyata bisa
juga si Nadil garang begitu. Aku tidak banyak membantah saat dia menasehati
atau mengomeliku meskipun dia lebih tua dariku beberapa menit saja. Kecuali
dalam satu hal; menyikat gigi. Sesekali saja aku mengindahkan omongannya bila
membahas tentang menyikat gigi. Bagai memasukkan segelas susu ke sungai. Oh,
mungkin lebih tepat lagi layaknya menyeburkan sekarung garam ke laut.
Namun,
sikap tersebut tidak lagi kuterapkan semenjak sikat gigi yang kuberi nama Meda
menjadi saksi bahwa aku berikrar telah pensiun dari malas menyikat gigi.
***
Si
Meda tidak pernah kugunakan. Dia hanya menjadi pajangan di kamar yang
kugelantungkan di dinding yang berpaku. Namun sesekali aku membawanya saat
keluar dalam waktu yang cukup lama. Entah kenapa aku selalu merasa Meda
memiliki ruh dan power yang kuat untuk membuatku bertahan kala aku mulai letih
dan menyerah.
Sikat
gigi yang selalu kujaga ini adalah pemberian dari seseorang yang kini dia
berada jauh dariku. Jangankan sampai kirim email atau menghubunginya lewat
medsos, menelfonnya saja sulit sekali. Sepertinya dia berada di daerah
terpencil yang tidak tersedia sinyal. Entahlah, aku pun tak tau. Dia menghilang
setelah beberapa bulan memberikan Meda padaku.
Pernah
sekali Meda hilang hingga tiga hari. Aku bingung bukan kepayang. Waktu itu aku
sedang berlibur ke Bali. Rasanya tidak mau pulang sebelum menemukannya. Malam
ketiga sejak hilangnya Meda, seseorang menelfonku.
“Selamat
malam.” Terdengar suara tegas di seberang sana.
“Iya,
selamat malam. Dengan siapa?” Jawabku dengan pikiran yang penasaran.
“Saya
Adib. Apakah Anda kehilangan sikat gigi?” Pertanyaannya membuatku terperangah.
“Saya
memang kehilangan sikat gigi dan berkali-kali mencarinya tiga hari ini. Anda
me-me-ne-mukannya?”
“Saya
menemukannya di tempat duduk menunggu matahari terbit di pantai Sanur. Ga tau
kenapa saya merasa sikat gigi itu sangat penting bagi pemiliknya. Apalagi ada
nomer HP tertera di gagangnya.” Aku baru ingat bahwa ada nomer HP-ku di
punggung Meda. Adib membuatku terharu. Aku jadi salah tingkah dan tanpa terasa
mataku berembun.
“Sebenarnya
aku menemukan sikat gigi Anda 2 hari yang lalu. Waktu itu saya harus pulang ke
Bandung,” lanjutnya.
“Jadi,
kita ga bisa ketemu di sini?” tanyaku ragu.
“Kasi
saya alamat rumah Anda, akan saya kirim lewat pos,” ucapnya mantap. Ada
kelegaan. Serasa diguyur hujan saat di gurun pasir.
“Baiklah
kalu begitu. Akan saya kasi alamat rumah melalui sms. Terimakasih.”
“Sama-sama.
Selamat malam.”
“Malam.”
Klik.
Tidak ada lagi suara dari seberang. Terimakasih sahabatku, berkat nomer HP-ku
yang kamu tulis, Meda selamat.
***
Hari
itu tidak begitu cerah. Langit tampak kusut tanpa sinar matahari yang sempurna.
Sekusut mukaku. Aku meringkuk di kamar selama dua hari dengan pipi bengkak
sebelah. Tidak lain dan tidak bukan karena sakit gigi. Hufff... itu adalah kali
ke tiga puluh empat aku merintih kesakitan karena masalah gigi sejak umur 8
tahun. Dan kini aku sudah menapak pada usia 15 tahun.
Celakanya hanya kau lah
yang benar-benar aku tunggu
Hanya kau lah yang
benar-benar memahamiku
Kau pergi dan hilang
kemanapun kau suka....
Lagu
Sheila on 7 berdentum sangat keras. Aaaaaaaarrrrggghh! Pipiku yang bengkak
serasa ditimpa 1 kg beras. Sudah pasti saudara kembarku itu yang berulah.
Setiap kali aku sakit gigi begitu, dia pasti melakukan hal-hal yang membuat
rasa nyeriku semakin berlipat-lipat. Biar aku kapok dan mau menyikat gigi
dengan rutin.
“Nadil,
kenapa kamu putar lagu keras-keras?” lamat-lamat kudengar suara ibu yang
menegur Nadil.
“Biasalah,
Bu. Bikin jera si Syifa,” jawab Nadil.
“Kamu
ini, kasian adikmu itu,” tandas ibu.
“Biarkan
saja, Bu. Siapa suruh dia ga nurut. Aku sudah berkali-kali mengingatkan untuk rutin
menyikat gigi dan tidak banyak makan yang manis-manis. Tetap saja dia ga
menghiraukan.” Nadil mulai mengoceh tentang aku pada ibu.
“Maklumi
saja, Ibu yakin tidak lama lagi dia akan sadar,” respon ibu dengan nada lembut.
***
Saat
pertama kali masuk Sekolah Menengah Atas, aku dan Nadil sepakat untuk tidak
duduk sebangku. Karena sejak SD kami selalu duduk sama-sama. Namun, sesampainya
di kelas ternyata bangku yang tersisa hanya satu. Spontan kami terperangah.
“Ini
gara-gara kamu.” Tuduh kami bersamaan. Dan kami pun sama-sama langsung menuju 2
tempat duduk yang kosong itu tanpa bicara apa-apa lagi. Sepanjang mata
pelajaraan berlangsung kami diam saja. Tidak ada obrolan sedikitpun. Bel tanda
istrahat berbunyi, dua orang yang duduk di depan kami menghadap kebelakang
sembari menyapa dengan nada yang sedikit heran.
“Hai,
kalian saudara kembar yaa. Mirip banget. Aku suka liatnya,” kata orang yang tepat
duduk di depanku. Katanya sih namanya Melinda. Dia yang terpilih jadi ketua
kelas.
“Aku
juga, Mel. Suka memperhatikan mereka yang tingkat kemiripannya hampir
sempurna,” sahut Desi yang duduk di sebelah Melinda.
“Tapi
dari tadi kalian diam saja,” ujar Melinda dan Desi berbarengan. Reflek aku
menopang dagu sambil memanyunkan mulut sedang Nadil mengangkat bola matanya
yang besar ke atas serta menggerakkan kedua bibirnya ke kanan dan ke kiri.
“Hahahahahaha...”
mereka tertawa melihat ekspresi kami. Tidak lama setelah tawa Melinda dan Desi
reda, Nadil menunjukkan suaranya yang berisik di telinga. Meski nyatanya
suaraku ga jauh-jauh beda dengannya.
“Tadi
di rumah aku dan Syifa sudah sepakat untuk tidak duduk satu bangku,” ucapnya
mantap.
“Tapi
nyatanya...,” timpalku.
“Gimana
kalo kita tukar tempat?” tukasnya antusias. “Syifa pindah ke tempatku dan aku
di sebelahmu,” lanjutnya.
“Sepakat,”
ujar Desi singkat.
“Gimana,
Nad?” Aku bertanya dengan ekspresi mengangkat alis dua kali.
“Aku
sih YES!”
“DEAL!”
Tiba-tiba serempak kami mengucapkan kata yang sama. Mungkin ini salah satu
tanda ada kecocokan di antara kami. Pikirku begitu.
Sembari
mengerlingkan mata sebelah ke Melinda, Nadil membawa tasnya untuk bertukar
tempat dan Melinda pun beralih posisi. Desi tergelak menyaksikannya itu. Aku
tak percaya si Nadil bisa terlihat genit begitu.
***
Kian
hari aku semakin akrab dengan Melinda. Ada banyak kecocokan yang kami temukan. Kami
sama-sama suka anime, game, coklat, hujan, duduk di jendela, dan masih banyak
lagi. Kalau di kelas, kami sering kontras. Melinda selalu menyetorkan tugas
tepat waktu, aku sering tidak mengumpulkan. Jika dia datang paling awal, aku
hampir tiap hari terlambat. Nadil sering meninggalkan aku bila bangun
kesiangan.
“Syifa,
terlambat lagi kamu,” pekik Melinda dengan nada berbisik.
“Hehe..peace!” aku nyengir kuda tanpa merasa
bersalah.
“Makanya
kalo dibangunin, cepet bangun,” ucap Nadil.
“Jahat!
Aku ditinggal.” Aku mendengus kesal.
Mata
pelajaran pertama usai, tapi aku belum bisa istirahat. Guru biologi memberiku
tugas tambahan karena sering terlambat. Malas sekali rasanya.
***
Embun
belum sempurna kering. Pagi ini tampak sangat tenang. Hari Minggu, hari berlibur.
Hari ini pun adalah waktu di mana aku dan Nadil mengulang hari lahir. Tak
kusangka sudah berumur 17 tahun. Sejak Bapak meninggal, aku dan Nadil tidak mau
ulang tahun kami dirayakan.
“Selamat
ulang tahun anak kembar ibu. Kalian selalu membuat ibu tersenyum. Semoga umur
kalian berkah.” Ibu memeluk dan mengecup kening kami bergiliran.
“Makasih,
Bu. Syifa sayang Ibu.”
“Nadil
juga sayang Ibu. Sangat.”
Ting nong. Ting nong.
Suara
bel memecah keterasyikan kami dalam berbagi dan mengungkapkan kasih sayang. Ibu
memutuskan diri untuk membuka pintu.
“siapa
yaa pagi-pagi begini bertamu?” tanya Nadil heran.
“Mungkin
sales parfum.” asal ceplos saja kutanggapi pertanyaan Nadil.
Tidak
lama kemudian ibu datang bersama tamu pagi ini yang ternyata Desi! Aku tidak
seberapa dekat dengannya. Desi lebih akrab dengan Nadil. Senang sekali ada
teman dekat datang di hari ulang tahun.
“Semoga
panjang umur Nadil..Syifa.. ini buat kalian.” Desi menyodorkan kami kado.
Dengan antusias kami menerima dan membukanya. Isinya sepatu! Bagus, warna merah
dan bertali.
“Makasih
Desiii,” ucap kami kompak dan girang. Setelah itu kami berbicara tentang banyak
hal. Ibu pun ikut nimbrung dengan kami. Mulai dari rencana-rencana kecil,
pentas seni di sekolah, seputar selebriti hingga pada guyonan-guyonan konyol
yang membuat kami semakin akrab. Aku yakin akan lebih seru lagi jika Melinda
juga di sini. Aku mengharap kedatangannya. Atau setidaknya telfon darinya hari
ini. Kutunggu-tunggu Melinda tidak datang ke rumah hingga akhirnya Desi pamit
pulang.
Hari
mulai gelap. Orang yang kutunggu kedatangannya tak kunjung muncul juga.
Sahabatku itu tidak menghubungiku sama sekali.
***
“Nadil...
Syifa... ini ada bingkisan untuk kalian,” teriak ibu dari ruang tamu. Aku dan
Nadil segera menghampiri. Sama-sama penasaran.
“Dari
siapa, Bu? Dari siapa?” tanya Nadil menggebu-gebu.
“Dari
Melinda, Sayang.” Ibu menyerahkan bingkisan dari Melinda yang sudah ada nama
kami masing-masing. Aku tidak menunda-nunda lagi untuk membukanya. Begitupun
dengan saudara kembarku. Beberapa detik setelah aku tau isi dari bingkisan itu,
aku...aku terkesiap dan terheran-heran. Kado dari Melinda adalah sikat gigi.
Berbeda denganku, Nadil mendapatkan jam tangan dari Melinda. Nadil tertawa
ngakak saat tau hadiah yang kudapat adalah sikat gigi. Dan aku jengkel dengan
tertawaannya itu.
Tidak
hanya sikat gigi, ada juga selembar kertas dari Melinda.
Selamat ulang tahun,
Syif. Semoga Tuhan selalu memberimu kesehatan dan perlindungan.
Maaf, kemaren aku harus
siap-siap untuk berangkat ke luar pulau. Jadi aku juga pindah sekolah. Jangan
tanya aku akan pergi ke pulau atau kota mana, karena Ayah belum meberitahuku
sampai sekarang. Semoga suatu saat kita bisa bertemu lagi. Makasih sudah
bersedia jadi sahabatku.
Oya, jangan lupa nyikat
gigi yaa J
Melinda.
***
Melinda
benar-benar pindah. Aku tidak menemuinya lagi di sekolah. Sepi tidak dia. Aku
ditinggalkan sahabatku. Sulit bagiku menemukan sahabat seperti Melinda. Rasanya
aku ingin teriak keras-keras panggil namanya, barangkali dia kembali. Ah, tapi
sayangnya itu hanya khayalan semata. Seminggu dua minggu kami masih bisa
menjalin komunikasi. Namun bulan-bulan berikutnya Melinda susah sekali
dihubungi. Hingga aku lulus SMA dan menjadi mahasiswa, aku belum juga
dipertemukan lagi dengannya.
Sudah
empat tahun lamanya aku tidak mendengar kabar tentangnya. Dengan memandangi
Meda, aku mengingat semua kenangan bersamanya. Apalagi saat Meda dia berikan
padaku agar aku rajin menyikat gigi. Aku sekarang rutin menyikat gigiku. Aku
juga sudah lama tidak sakit gigi. Berkat Melinda.
Dering
handphone berbunyi. Desi menelfonku.
“Halo
Syifa.” Nada Desi seperti hendak mengatakan hal yang penting.
“Hai,
Des. Ternyata nomermu ini masih kamu gunakan yaa,” jawabku.
“Iya,
Syif. Aku mau kasi kabar tentang Melinda,” ucapnya to the point.
“Melinda?
Wahh, cepat cepat katakan tentang dia. Aku sudah lama menunggu kabarnya.” Aku
kegirangan tak karuan.
“Melinda...emm
Melinda meninggal seminggu yang lalu karena bunuh diri, Syif.” Kalimat Desi
bagai api yang menyala-nyala dan membakar seluruh tubuhku. Aku lemas seketika.
“Apa
aku salah dengar?” aku mencoba meyakinkan diri bahwa itu tidaklah benar.
“Engga,
Syif. Melinda bunuh diri karena dia diperkosa ayahnya. Aku mendengar dari salah
satu keluarganya,” jawab Desi dengan sesenggukan. Selama yang kutahu, Melinda
tidak tampak punya masalah dengan ayahnya. Oh tidak, aku tidak kuat
mendengarnya. Semakin lama aku kian hilang akal dan tiba-tiba semuanya menjadi
gelap.
*Cerpen ini dipublikasikan dalam antologi alumni Kampus Fiksi 13
Post a Comment
Post a Comment