Rutinitas Pagiku Tanpamu
Ran Azlaff ^_^
Dan kau pun kembali pergi…
Tanpa peduli adaku di sini, menantimu tiada
ujung…
Aku selalu ingat bagaimana ekspresimu saat
memasangi kepalamu dengan helm. Tak lupa dengan kaos tangan hitam juga menjadi
atribut perjalananmu yang tak terlupakan.
“Mau ke mana, Mas?” Tanyaku ketika kau hendak
pergi.
“Mas mau pergi untuk menjemput sukses di ujung
sana.” Jawabmu seraya mengangkat kepalan jari-jarimu dengan semangat yang
menjanjikan.
“Aku akan menunggu
kembalimu.” Kataku intens.
“Aku pasti kembali. Doakan aku, Cil!” Seketika
sepeda beat-mu melaju cepat. Kupandangi punggungmu yang kian jauh hingga
tubuhmu tak lagi terlihat. Kau pergi.
^_^ ^_^ ^_^
“Ucil…” Begitulah kamu memanggilku. Dan kuakui
bahwa aku senang dengan panggilan itu. Bagiku, kamu adalah sosok yang pantas
kukagumi setelah Rasulullah dan Ibu. Meski otakmu tak secerdas otakku di dunia
akademik, tapi kamu jauh lebih hebat dalam menata hati, bermimpi, berteman, dan
merancang masa depanmu.
“Andai semua orang bisa seperti daun hijau yang
rela menyumbangkan tubuhnya untuk seekor ulat yang kelaparan, mungkin tak akan
lagi ada pertemuan dengan akhir yang menyiksa.” Katamu dengan lagak sok puitis
di suatu pagi. Aku hanya diam, terpaku dengan apa yang kamu katakan.
“Lantas, bagaimana akhir dari kehidupan daun
itu, Mas?” Tanyaku kemudian. Kamu tidak langsung menjawab, hanya tersenyum dan
mengusap ubun-ubunku.
“Mas Aslan…kenapa diam saja?” Kutekan sedikit
suaraku saat menyebut namamu. Berharap agar kamu segera memberiku jawaban. Lima
hingga sepuluh menit pun berlalu. Namun suaramu tak kunjung kudengar. Kau tetap
diam. Kamu hanya merespon rasa penasaranku dengan mengangkat sebelah alis
matamu. Huh, menyebalkan!
“Ya sudah, Mas kalo gak mau cerita sampai
ending” Ucapku pasrah. Aku berbalik lalu duduk memunggungimu. Sesaat kemudian
kau mendekatiku dan berbisik
“Saat musim panas tiba, daun itu telah terlepas
dari rangkulan dahannya. Tapi satu yang perlu kamu tahu. Daun itu tak pernah
menyesal telah memberikan sebagian tubuhnya untuk sang ulat. Karena ia tahu
bahwa masa di mana ia akan mongering pasti datang. Hingga ia bisa gugur dengan
bekas hidup yang berarti.” Aku tersenyum mendengar bisikanmu. Setelah itu kamu
tak berkata lagi. Lalu hening menempati kegemingan kita.
Kupandangi ice cream tiga warna di hadapanku
yang hampir meleleh. Kuletakkan ice cream itu di atas meja sejak tiga puluh
menit yang lalu.Tapi sayang, hingga detik ini ia belum juga tersentuh oleh
pemiliknya.
“Mas Aslan…”
Jeritku dalam hati. Selarut ini kamu belum juga pulang. Padahal aku
sudah menyiapkan ice cream kesukaanmu dan menunggumu lama. Bukan untuk apa-apa,
hanya saja aku terlalu khawatir jika kamu pergi terlalu lama.
“Tok…tok…tok…” Ada ketukan pintu yang
membuyarkan lamunanku. Aku yakin pengetuk pintu itu adalah kamu. Kuhampiri pintu
dan membukanya. Yaps! Tepat sekali. Sudah ada kamu di hadapanku.
“Belum tidur, Cil?” Masih saja kau menyoaliku
meski tampak lelah.
“Mataku gak mau merem. Jadi aku menunggumu,
Mas.” Senang mendapatimu di hadapanku.
“Kamu memang adikku yang paling TOP!” Pujimu
seraya menahan kantuk.
“Tapi bukan oli TOP 1, kan?” Guyonku.
“Ada-ada saja kamu, Cil!” Kamu geleng-geleng
kepala dan mencubit pipiku gemas.
“Awww! Lepaaaaaaaaas!” Jeritku keras, berharap
tanganmu segera lepas dari pipiku.
“Sssssstttt…sudah malam, jangan berisik!” Kau
melepas cubitanmu dan berlalu tanpa menoleh lagi ke arahku.
“Mas!” Kamu terus saja melangkah menuju kamarmu
dan menutup pintu tanpa beban.
“Urggghhh!” Kesalku membengkak. Enam puluh
detik kemudian deritan pintu kamarmu menyumbangkan irama.
“Ucil, makasih ya. Pipimu empuk.” Tampak
kepalamu nyembul di pintu.
“Mas Aslan…?!” Aku semakin geram mendengar
pernyataanmu yang bermimpipun tidak
untuk kudengar.
^_^ ^_^ ^_^
Pagi tanpa sesak. Menunggu matahari terbit
adalah rutinitas harian yang tak ingin kulewati. Aku rindu Ayah, duduk sendiri
di jalan setapak pada sawah yang ditanami padi yang belum juga menguning.
Kemerahan di langit timur semakin mengingatkanku pada posisi Ayah di sini, di
sisiku. Sungguh, rinduku padanya tak tertangguhkan.
“Belum selesai, Cil?” Sapamu menahan air mataku
yang hampir merembes.
“Belum, Mas.Matahari belum juga memberiku
sekapsul obat pereda rindu pada Ayah.”
“Boleh kuajukan satu pertanyaan?” katamu.
“Tentu saja?” Aku selalu siap mendengar
pertanyaanmu tanpa tahu apa aku akan selalu memberimu jawaban.
“Apa kamu juga akan serindu ini padaku jika kelak
aku pergi?” Nafasku tertahan sepuluh detik setelah pertanyaamu yang tak ingin
kumengerti. Bingung menimbuniku.
“Cil???” Aku masih diam dengan bingungku.
“Kenapa diam saja?” suara baritonmu kembali
menyoaliku.
“Jika kukatakan ‘iya’, aku takut Tuhan
benar-benar menjemput Mas dari sisiku sebelum aku siap kehilangan yang kedua
kalinya.” Kucoba memberimu jawaban meski nyatanya aku telah lemas untuk
berkata-kata. Melihat Ibu yang kini hanya bisa berbaring lemas sejak sepuluh
bulan yang lalu saja aku tak mampu. Apalagi harus mendapati kekosonganmu.
^_^ ^_^ ^_^
“Mau ke mana, Mas?” Tanyaku ketika kau hendak
pergi.
“Mas mau
pergi untuk menjemput sukses di ujung sana.” Jawabmu seraya mengangkat kepalan
jari-jarimu dengan semangat yang menjanjikan.
“Aku akan menunggu
kembalimu.” Kataku intens.
“Aku pasti kembali. Doakan aku, Cil!”
Percakapan pagi dua bulan yang lalu denaganmu
itu selalu terdengar di kepalaku. Entah yang keberapa kalinya kuhubungi nomor ponselmu.
Tapi tetap saja responnya sama, tak ada jawaban. Aku tidak tahu pasti apakah
kepergianmu hanya akan berlaku sementara atau unuk selamanya. Setelah Ibu yang
mengantongi keriput telah menghembuskan nafas terakhirnya, kukatakan pada semesta
bahwa sepertinya aku telah resmi sendiri. Tapi yang pasti, di bawah langit yang
tak secerah biasanya. Kini, aku masih setia dengan rutinitas pagiku tanpamu.
Forum
Lingkar Pena,19 Januari 2013
Post a Comment
Post a Comment